Ingat Tomy

 

BEGITU lama saya tidak menyeberangi Selat Sunda: 10 tahun?

“8 tahun”.

“Itu hanya ke tengah laut, lalu balik lagi ke Merak. Tidak bisa disebut menyeberang”.

“Yang dengan penyanyi Syahrini dan Slank itu?”

“Iya. Waktu peresmian kapal feri terbesar kala itu.”

Kali ini saya mau menyeberang ke Lampung. Tanpa mobil. Ada yang menjemput di seberang sana. Kebetulan saya berangkat dari kantor harian Radar Banten: sudah dekat dengan Merak. Teman-teman Radar Banten itu yang mengantar saya ke Merak.

Hari sudah senja. Matahari sudah memerah. Disaput pula awan tipis. Pendaran sinarnya begitu indah. Apalagi saat bersatu dengan kaca laut Selat Sunda yang lagi tenang.

Di Merak, kini sudah ada dua pilihan kapal: ekspres dan reguler. Yang ekspres hanya 1 jam 20 menit. Dengan karcis Rp 65.000/orang. Yang reguler Rp 30.000/orang: 4 jam di atas laut.

Saya pilih yang ekspres.

Saya ingin tahu terminal barunya. Yang mirip bandara itu. Termasuk sudah dilengkapi garbarata. Maka kalau pun ada hujan tidak akan kejatuhan air langit. Masuk feri pun persis seperti masuk ke dalam pesawat.

Dengan fasilitas ekspres ini rasanya memang tidak perlu lagi ada jembatan Selat Sunda.

Atau masih perlu? Bahkan sangat perlu? Bukankah sudah ada tol Jakarta-Bandung masih perlu kereta cepat?

Setidaknya kita pernah sangat serius membicarakan pembangunan jembatan Selat Sunda. Sampai sudah pernah diterbitkan peraturan presidennya: zaman Presiden SBY. Pun sudah pernah ada investornya: Tomy Winata. Sudah ada lembaga keuangan yang membiayainya: perbankan Tiongkok.

Dan yang tidak kalah penting: sudah ada road map-nya. Dan desain teknisnya.

Rasanya investor sampai sudah habis lebih dari Rp 2 triliun untuk semua persiapan itu. Dan itu uang sungguhan –bukan uangnya Akidi Tio.

Begitu seriusnya Tomy saat itu, sampai ia berandai-andai dengan nyawanya: “Kalau salah satu syarat untuk mendapat izin itu harus nyawa saya, saya akan penuhi,” katanya suatu saat. “Kalau setelah jembatan jadi saya harus melompat dari jembatan itu ke laut, saya akan lakukan,” tambahnya.

Waktu itu Tomy sampai mengumpulkan semua anaknya. Agar anak-anak itu ikut menandatangani syarat yang diminta bank internasional: garansi pribadi. Artinya: kalau proyek itu gagal bayar, seluruh kekayaan Tomy disita bank. Termasuk semua kekayaan anak-anaknya.

Kenapa harus sampai kekayaan anak-anak?

Proyek itu pasti memakan waktu bertahun-tahun. Bisa 15 tahun. Dalam perjalanan itu bisa saja Tomy meninggal dunia. Kekayaan harus dibagi ke anak-anak.

Tomy sampai menyiapkan anaknya untuk situasi yang terjelek.

Di akhir pemerintahan SBY, Tomy mendapat kepastian: izin belum bisa dikeluarkan oleh pemerintahan waktu itu. Izin itu terlalu penting untuk dibuat oleh pemerintahan yang running out time.

Lalu, di awal pemerintahan Presiden Jokowi, Peraturan Presiden tentang Selat Sunda itu dicabut.

Selesai.

Mungkinkah suatu saat pemerintah menginginkan pembangunan jembatan Selat Sunda?

Mungkin saja. Tentu lebih sulit lagi. Terutama untuk mendapatkan tapak jembatan di sisi Banten.

Waktu itu tapak jembatan tersebut direncanakan di lokasi yang siapa pun tidak mengira: Mojo. Luasnya 10.000 hektare. Wujudnya masih hutan karet. Mudah membebaskannya.

Lokasi tapak itu masih sekitar 10 Km dari pantai –jauh di selatan Merak.

Begitu jauh?

Tentu. Tinggi jembatan itu bisa 100 meter. Naiknya tidak boleh tajam. Ancang-ancangnya sejak 10 Km sebelumnya.

Demikian juga di sisi Lampung –yang mencari lahan 10.000 hektare tidak sulit di sana.

Lokasi Mojo itu kini sudah bukan kebun lagi. Para pemburu tanah sudah mulai menguasainya: termasuk yang terkait dengan kasus Jiwasraya.

Kalau pun akan ada jembatan Selat Sunda, sudah pasti pula bukan Tomy Winata investornya. Tomy sudah memasukkan semua perencanaan itu ke museum pribadi di otaknya.

Di atas kapal itu saya pun segera melupakan Tomy. Saya menyendiri di ruang VIP.  Hanya ada kami bertiga di situ: saya belum menulis naskah untuk Disway edisi esok hari. Juga belum memilih komentar pilihan.

Senja itu saya bisa istirahat sambil menulis.

Tak terasa di luar sudah gelap. Sebelum menulis saya ingin sekali mengirim WA ke dirut ASDP yang hebat itu: Mbak Ira. Bukan untuk memujinyi. Hanya untuk curhat: colokan HP di ruang itu jadul sekali. Padahal, di zaman ini, colokan HP lebih penting dari pantun terbaik Aryo sekali pun.

Saya batalkan rencana itu. Terlalu sepele soal colokan untuk diketahui seorang dirut. Saya juga tidak mau dinilai menjadi penumpang yang cerewet.

Toh masih ada 10 persen baterai di HP saya. Pasti cukup untuk satu naskah pendek.

Dan lagi belum tentu naskah lebih penting dari pantun yang kini mewabah.

 

 

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

 

 

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul Bayar Berapa

SapuSapuan
Sederhana saja, kalau gak di teken berlaku peraturan lama. Kita dpt apa? Mau dibawa ke internasional juga belum tentu menang. Semua yang komentar kita dikibulin memang merasa dirinya pintar…. ya khas pengamat yang gak punya amanat tapi mimpi bisa amanah. gitu aja kok repot. wkwkwk

Denik .
Ada HALO ada juga HAHO. Untuk detailnya sy kurang faham.

Er Gham
Betul. Kalo HAHO, parasut dibuka saat ketinggian masih tinggi. Wajib masker oksigen juga. Tapi lebih lama turunnya.

Sedikit menjelaskan paragraf 13, dimana disebutkan ada yang diterjunkan tanpa payung dari ketinggian 37.000 kaki. Mungkin maksudnya, penerjun yang melakukan terjun HALO (high alltitude low opening), salah satu yang diajarkan dalam pelatihan military combat-free fall. Jadi penerjun loncat dari pesawat dari ketinggian tertentu (sangat tinggi sehingga pakai masker udara) , lalu meluncur terus ke sasaran, seperti terbang, tanpa membuka payung terlebih dahulu. Payung dibuka saat dekat di atas sasaran pada ketinggian rendah. Misal, penerjun loncat di atas Batam, lalu meluncur diagonal ke arah Changi, nah payung dibuka pas di atas landasan bandara Changi. Pola terjun HALO ini digunakan untuk penyusupan saat perang, karena tidak bisa dideteksi sebelumnya, dan biasanya dilakukan malam hari. Ini berbeda dengan terjun payung militer biasa yang payungnya langsung terbuka saat penerjun loncat.

Tyang Mjk
rakyat adalah pemilik negara republik (negara berkedaulatan rakyat) nyang menguasakan kepada ‘wakil’nya di dewan terhormat, dan dikuasakan kepada presiden

Iskandar Micah
Terima kasih Abah, saya selalu berhusnudzon dengan usaha pemerintah saat ini dalam mengHEBATkan Indonesia.  Mumpung lagi bahas soal kedaulatan udara , saya usul ada baiknya abah menuliskan tentang profil Prof. Atik Bintoro, yang sedang ‘menghidupkan’ kembali Burung Udara made in Indonesia, NU219.  Beliau seorang profesor, orangnya kecil seperti Pak Habibi, sederhana, lama terdampar di Rumpin, bahkan orang Rumpin menyangkanya hanya sebagai tukang bunga, bukan seorang profesor.  Hebatnya lagi, konon beliau bisa baca kitab kuning.

Sadewa
Ibarat Kita punya 4 orang istri , selama puluhan tahun, mereka “dikuasai” oleh tetangga kita. Sekarang tetangga kita mengembalikan 3 istri yg sudah tua dan keriput, namun 1 istri yg cantik & kenceng masih tetap dikuasai oleh nya. Apakah kita rela ? 29% wilayah udara, apalagi yg dibawah 37.000 kaki, itu ibarat istri yg cantik, yg kenceng, yg disukai banyak orang. Sementara sisanya diatas 37.000 kaki siapa yg mau pakai ? Kita boleh berbuat baik kepada tetangga, namun untuk kedaulatan itu soal lain.

imam jumbo
salah di perumpamaan ini mah, harusnya ibarat hidup bertetangga jadi tdk rukun gara2 saling klaim ijin lewat halaman & jalan depan rumah, mending dicari solusi kalau mau lewat ya bayar, wani piro?

CuNur Yani
…baru menebar jaring ke langit, apadaya lemparan jaringnya kebablasan. Tidak apa-apa daripada tidak mendapatkan apa-apa…

Er Gham
Changi tidak perlu tutup. Itu cuma masalah komunikasi serah terima kendali koridor pesawat. Kalo ada pesawat yang take off dari Changi, ya masih tower Changi yang pegang. Saat di perbatasan, tower Changi akan confirm pilot bahwa kendali selesai dan silakan pilot mulai hubungi tower negara berikutnya. Ini hal yang biasa, apalagi di negara Eropa yang berdekatan. Begitu pula sebaliknya saat landing. Ini bukan masalah kendali tower, ini masalah ketahanan udara Singapore. Makanya mereka ngotot.

Sin
ikut komen ah..mumpung lagi senggang, gara2 omicron..beberapa hari kemaren ga sempet baca disway, apa bedanya dikuasai dan menguasakan apa bedanya kelaparan dengan menahan lapar apa bedanya maling sama mengambil tanpa ijin apa bedanya miskin dengan kekurangan financial apa bedanya … beda nya ya cuman di mulut yang ngomong…inti nya yo podo ae sami mawon, tinggal pinter pinternya aja bu guru privat mengajar…alias ngeles

Aryo Mbediun
Ada leader team Indonesia saat2 terakhir masghul dan berucap di mic; “Kenapa WHY selalu ALWAYS tetapi BUT tidak pernah NEVER….?!  Ruangan tiba2 hening. Leader Singapura tolah-toleh bisik-bisik lalu berucap, ” We suppose rise the bid.”. Leader Indonesia berucap keras, “Karena BECAUSE sakit ILL”. Leader Singapura, ” Okey Sir, ALL IN”. Akhirnya perjanjian ditanda tangani. Ra sido gratisan.

Teguh Wibowo
Saat team pengacara Indonesia berhadapan dg team pengacara Singapura terjadilah perdebatan. Team pengacara Indonesia bertanya “pada pasal sekian anda menggunakan kata “COMPLETE” namun di pasal yg lain anda juga menggunakan kata “FINISHED”. Bukankah keduanya memiliki arti yg sama?, bisakah anda menjelaskan perbedaan keduanya?” Team pengacara Singapura yg beranggotakan bule2 Amerika pun menjawab.  “No English dictionary has been able to explain the diference between the two words “COMPLETE and FINISHED”, some people say there’s no difference between COMPLETE and FINISHED, but there is: when you marry the right woman, you are COMPLETE..! When you marry the wrong women, you are FINISHED..! And when your wife chatces you with another woman, you are COMPLETELY FINISHED.. And if you marry a woman who likes shopping so much, you are FINISHED COMPLETELY”. Dan team pengacara Indonesia pun hanya manggut2..

yohanes hansi
Kancil menang lawan gajah? Tandanya gajah harus sekolah..

Hardiyanto Prasetiyo
Berdaulat atau tidak? saya berikan gambaran simpel implementasi FIR yg masih dikendalikan Singapura sbb : Seorang pilot TNI AU ditugasi untuk patroli di wilayah udara Natuna. Normalnya, pilot setelah melakukan pengecekan pesawat, masuk kokpit langsung terbang. Nyatanya gk seperti itu, ternyata si pilot TNI AU ini harus mengantongi izin terbang (Flight Clearance) terlebih dahulu dari menara kendali Bandara Internasional Changi untuk bisa terbang di wilayah udara Natuna. Flight Clearance atau izin terbang ini adalah SOP mutlak untuk pesawat asing yg melintas. Terbang di wiliyah NKRI serasa pesawat asing. Angge-angge orong-orong, ora melok duwe kudu ngomong.

Disway Reader
Tkng tambal Tanah dan air dikuasai negara untuk udara dikuasai tkng tambal ban weka weka

Leong Putu
Cerita lama. Istri penguasa dapur. ================= Suami : “Ma…. Nyimpen gulanya di mana ? Papa pengen ngopi._ Istri : “Di dapur pa, di toples yang ada tulisan garam”._ Suami : “Lah…toples gula kok ditulis garam ?”._ Istri : “Biar gak ketahuan semut, kek di kontak hpmu. Namanya Dewi kau tulis JUNAIDI !!!. #kek sapa ya ?

Mirza Mirwan
Mumpung belum Dhuhur saya sempatkan mengacak komentar yang sudah 174. Beberapa komentar membuat saya tersenyum sendiri — entah kenapa, perasaan saya kok tetap mengatakan “Sin” itu si Alay, meski ia menyangkal. Beberapa lagi membuat saya geleng-geleng kepala, sepertinya sangat menguasai permasalahannya. Saya sudah membaca UU no. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang ditandatangani Pak SBY pada tgl. 12 Januari 2009. Dalam UU yang terdiri dari 24 bab dan 466 pasal itu, hanya pasal 458 saja yang agak membingungkan saya bila dikaitkan dengan polemik pengamat hukum dan pemerintah. Pasal 458 itu berbunyi: “Wilayah udara Republik Indonesia yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian SUDAH HARUS DIEVALUASI DN DILAYANI OLEH LEMBAGA PENYELENGGARA PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak unfang-undang ini berlaku.” (hurup kapital dari saya). Kapan hari itu, tanpa menyebut pasal berapa, saya menulis “diambil alih” untuk “dievaluasi dan dilayani” di pasal tersebut. Makanya saya bilang perjanjian FIR itu bertentangan dengan UU dimaksud. Hanya saja kalau tafsir “dievaluasi dan dilayani” itu adalah pemasukan dari jasa pelayanan navigasi itu tetap harus disetor ke Indonesia, d.h.i. AirNav Indonesia, nah… itu, tak bisa lagi disebut bertentangan. Yang harus diingat ialah saat penandatangan perjanjian FIR (oleh Menhub) dan Ekstradisi (oleh Menkumham) juga ditandatangani MoU Kerjasama Pertahanan oleh Menhan Prabowo Subianto — juga MoU Kerjasama Bank Seentral oleh Gubernur BI. Nasehat orang bijak yang selalu saya ingat ialah: NEC LAUDERE, NEC CONDEMNARE, SED INTELLIGERE — Jangan memuji, jangan mengecam, lebih baik mengerti dulu. Dan sampai sekarang saya belum mengerti isi perjanjian tentang FIR itu.

Mbah Mars
Kalau yg terjadi di Jogja itu rebutan hak tanah ke bawah. Critanya gini: ada wisata air di dalam gua. Dikelola oleh masyarakat. Maju pesat dan ramai dikunjungi. Nah, melihat itu pemilik tanah di atas gua menggugat. Dia merasa gua itu bagian dari tanahnya.

Denik
NKRI harga mati ! Laut dan udara harga Nego.

Aryo Mbediun
#195 Hak udara, wani piro Kalau anda sempat membaca the champion by Donald Trump, Beliau sangat2 keukeuh dengan hak udara saat menjadi pemain property.  Hak udara itu adalah segala kepemilikan atas udara yg berada di atas property kita. Misalnya Trump membangun hotel 50 lantai di jl Darmo, maka pemilik property di sekitarnya hingga 50-100m dari hotelnya, dia beli hak udara’nya. Trump MEMBELI hak udara tetangga2nya. Tentu ada durasi, 50 tahun misalnya dan tentu nilainya jutaan dolar. CASH.  Dengan dibeli hak udara, para tetangga tidak bisa membangun property yg melebihi ketinggian tertentu, sesuai perjanjian. Tapi mereka dpt kompensasi. Alhasil, Trump Tower dimana saja selalu tampil elegan seolah maharaja karena dari kejauhan kethoro. View’nya chick banget tidak ditutupi gedung sebelahnya. Demikian kiranya yg terjadi di FIR Indonesia-Singapura. Singapura itu sedang membeli hak udara Indonesia. Cuma sawangane, Indonesia blm patio paham. #peace

Gambit X-Men
Catatan Editorial artikel Abah kali ini:  # Sedang dalam kata “menguasakan” kepemilikannya jelas = Perlu “koma” setelah kata yang dikhususkan dengan petik, seperti kalimat sebelumnya.  # Mungkin itu juga yang dibanggakan pemerintah: bahwa kita … = Secara fungsi, “titik dua” dan “bahwa” itu sama; maka demi efektifitas, hilangkan katanya, pertahankan tandanya.  #  Riau Kepulauan = Fungsi D-M agak janggal. Jika merujuk versi Inggris-nya: The Riau Islands, padanan yang pas ya “Kepulauan Riau”, sesuai kelaziman.  # Bahwa sebagian wilayah itu masih tetap dikuasai oleh Singapura itu soal lain = Karena ada dua kata “itu”, juga cukup kompleks kalimatnya, baiknya diberi jeda napas berupa “koma” setelah “Singapura”.  # juru bicara kementerian perhubungan = Miss-editing sepertinya, terlewat dikoreksi, sebab penulisan setelahnya benar: dikapitalkan nama lembaga negara ini.  # lawyer = Mungkin tidak asing lagi, tapi jika dilihat dari kacamata koherensi antarparagraf, padanan “pengacara” untuk kata ini menjadi perlu.  # Prof Hikmahanto = Sama dengan singkatan Ny. untuk “Nyonya”, di sini pun perlu tanda titik.  # tower =  Walau populer, sebaiknya tetap di-italic-kan. Selain dicetak miring, baik pula jika diberi keterangan dalam kurung: menara pengawas.  # “all out” dan “in command” = Saya mencoba mereka apa padanan dua frasa milenial ini supaya sesuai dengan konteks kalimat masing-masing: “mengerahkan segalanya” dan “dalam komando”. Tepatkah?  # bayar berapa = Judul yang dijadikan pula kalimat penutup artikel, apa maksud Abah mengarahkannya ke tanya canda: “Wani pira?” He-he-he.   Sekian. Afwan. Kalau baper.

Buzzer NKRI .
Rekaman black box pesawat take off dari changi: atc indo (I), atc sgp (S), pilot (P) S : flight level 320 ya keluar sgp P : siap P ke I: minta flight level 320 I : gak bisa ada pesawat lain yg pake, darurat, lo ke lv 350 P ke S: minta dirubah ke 350, kata atc indo ga bisa 320 S : gak bisa woi, 290 aja kalo gitu P : siap P ke I : minta 290 I : gak bisa lagi dipake ama jenderal, pake 350 ga usah ngeyel P ke S: gak bisa bos gimana ini? gw harus ketinggian berapa? S: YNTKTS duar…… tabrakan pesawat………hehehe………….

Er Gham
Jadi belajar soal FIR. Indonesia punya 2 FIR, FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang. FIR Jakarta dari ujung Aceh sd Jogya/Jawa Tengah dan Kalimantan Barat. Sisanya dipegang FIR Ujung Pandang. Nah FIR Jakarta ini beririsan dengan FIR Singapura yang luas banget ternyata. Pertanyaan, jika Jakarta sanggup monitor s.d. ujung Aceh, kenapa seolah olah FIR Jakarta gak sanggup kelola yang dekat, seperti di atas kepulauan Riau.

Liam
Amerika mempunyai 750 pangkalan militer/base besar kecil di 80 negara. Lantas apakah negara-negara tersebut hilang kedaulatannya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *