Sesal Istri

ISTRI polisi itu mengadu-aduk emosi dan perasaan siapa saja. Begitu naik podium, dia tidak bisa langsung berbicara. Suaminyi, Jason Rivera, yang baru tiga bulan lalu mengawininyi, ada di peti mati di depannyi.

“Kini saya memang punya ribuan saudara dan saudari baru, anggota polisi, tapi tanpa Jason jiwa saya sunyi,” kata Ny Jason, Dominique Luzuriaga.

Wajahnyi terus menunduk. Telapak tangannyi terus ditepuk-tepukkan secara lirih dengan irama sangat cepat ke podium. Dia seperti sulit untuk memulai bicara.

Terus saja telapak tangannyi ditepukkan ke podium. Berkali-kali. Lebih 20 sentuhan. Belum juga mulai bicara. Dia terisak.

Dominique kian sulit bicara. Maskernyi pun agak melorot. Dia raih masker itu. Dia renggut dari mulutnyi. Dia lepas pula kacamatanyi –yang kelihatannya mulai berembun air mata. Seorang wanita mendekat. Mengambil masker dan kacamata itu. Juga menguatkannyi.

Tatapan wajahnyi masih terus ke kertas naskah yang akan dia baca. Dia usap-usap kertas itu, seperti ingin memperjelas huruf-hurufnya yang terasa kabur oleh linangan di kornea.

“Saya ingin mengu

capkan selamat pagi kepada Anda semua,” katanyi lirih. “Tapi inilah pagi yang paling buruk.”

Jason Rivera, seorang polisi berpangkat sersan satu New York, tewas ditembak residivis Jumat petang sebelumnya. Yakni ketika Jason dan dua teman tugasnya memenuhi panggilan telepon seorang ibu yang merasa terancam oleh ulah anaknyi.

Sang ibu melapor: si anak tidak punya senjata api. Tapi begitu Jason tiba di depan pintu, si anak membuka pintu dan langsung menembakkan senjata Glock 45 (Disway 27/1/2022: Sesal Ibu).

Jumat pagi berikutnya jenazah Jason disemayamkan di gereja terkenal di New York: St Patrick. Upacara pemberangkatan ke makam dilakukan di Katedral yang dibangun tahun 1878 itu.

Sang istri memberikan pidato perpisahan.

“Kami berdua sebenarnya sudah merencanakan akan ke gereja ini untuk beribadah akhir tahun nanti. Mimpi buruk ini begitu nyata,” katanyi.

Setelah emosinyi agak reda, Dominique melanjutkan bicara. Di hari penembakan itu, katanyi, dia merasa sangat bersalah. Dia bertengkar hebat dengan sang suami. Sampai-sampai sang suami membanting jersey bintang basket pujaannya, Lebron James.

Penyebab pertengkaran itu adalah: keinginan istri agar di saat berdua janganlah membawa HP dinas.

Telepon itu sering mengempaskan harapan. Lagi asyik berdua sering ada tugas mendadak. Sang suami harus mendahulukan tugas. Jam kerja polisi adalah 24/7.

Begitu kerasnya pertengkaran itu sampai sang suami juga melemparkan borgol kepolisian ke arah sang istri. “Nih, ambil,” kata sang suami seperti ngambek.

Pagi itu, Jumat pagi, mereka punya kegiatan rutin: nonton Netflix, YouTube soal hukum, dan membacakan email-email yang masuk. Lalu mereka berdua sarapan kesukaan dan minum kopi dari Starbucks. “Hobi kami hanya makan. Sampai berat badan kami naik,” ujar Dominique.

Lalu obrolan sampai ke soal telepon dinas tadi. Dan soal banyaknya pekerjaan suami yang mengganggu kemesraan berdua.

“Jadi istri polisi kadang memang sulit,” ujarnyi. Janjian sering batal. Sering tiba-tiba tidak pulang berhari-hari.

Rupanya suami istri ini punya apartemen sendiri-sendiri. Kalau malam saja, kalau Jason tidak ada tugas, Dominique ke apartemen Jason.

Setiap pagi sang istri pulang ke apartemennyi sendiri. Biasanya diantar sang suami –sambil berangkat kerja. Setiap turun mobil sang suami menciumnyi dulu: tiga kali.

Jumat pagi itu pertengkaran terhenti karena Jason siap-siap berangkat kerja. Kali ini sang istri tidak mau diantar suami. Dominique memesan Uber. “Kami tidak ingin pertengkaran berlanjut di mobil,” ujar sang istri.

“Bener nih gak mau diantar?” tanya Jason.

“Tidak,” jawab istri.

“Siapa tahu ini kali terakhir saya mengantarkan kamu,” kata Jason.

Uber pun datang.

“Ini kesalahan besar saya,” ujar Dominique.

“Pukul 15.15 saya terima BRB roll call text di HP saya,” ujar Diminique. BRB adalah istilah komunikasi di HP –be right back. Pemilik HP lagi sibuk tapi bisa terima BRB roll call text. Mereka terus BRB sampai EOT –Anda sudah tahu istilah ini.

Tak lama kemudian Citizen Apps menyala. Pertanda ada berita penting. Dia memang langganan App Citizen. Fokus perhatiannyi sehari-hari, sepanjang hari, ya ke hot news di Citizen.

Apps Citizen hanya ada di 20 kota besar di Amerika Serikat. Pelanggannya sudah lebih 5 juta orang. Di situ seperti ada berita real time tentang apa saja yang terjadi di kota itu. Terutama yang terkait dengan kriminalitas. Apps Citizen seperti terhubung ke 911 polisi.

Dari Citizen itu di layar Dominique tiba-tiba muncul foto dua polisi tersungkur, tertembak. Perasaannyi tidak enak. Dia langsung ajak chat sang suami. Tidak menjawab.

“Kamu baik-baik saja kan?”

Tidak dijawab.

“Kamu ok kan?”

Tidak dijawab.

“Jawablah bahwa kamu baik-baik saja.”

Hatinyi tambah kacau.

Mereka berdua juga sepakat dalam hal ber-HP: lokasi di masing-masing HP harus ‘on’. Dengan demikian suami-istri ini saling tahu sedang di posisi mana mereka.

Sang istri beralih menghubungi banyak teman Jason. Tapi tidak ada yang bisa memastikan apakah salah satu dari dua polisi tersebut suaminyi.

Tak lama kemudian dari monitoring HP suami, sang istri tahu: posisi suami ada di rumah sakit. Lalu ada pemberitahuan resmi mengenai keberadaan suami.

Dia pun meluncur ke rumah sakit. Dia masih membayangkan sang suami hanya terluka yang bisa disembuhkan.

Tapi begitu masuk ruangan, dia melihat sosok suami sudah ditutup pembungkus mayat. Dia pun merangkulnya. Memanggil-manggil namanya. Yang dipanggil diam saja. “Saya masih berharap ia mau membuka mata sebentar saja untuk mengucapkan bahwa ia mencintai saya. Sekali saja. Untuk yang terakhir,” katanyi.

Apa yang dia harapkan tidak terjadi. Dia masih ingat Jason selalu mengucapkan “I love you”. “Ketika saya yang mengatakan ”I love you” ia selalu membalas ”I love you more”,” ujarnyi.

Tidak ada lagi ucapan itu. Dia pun terkulai di rumah sakit. Dia sangat menyesal mengapa pagi itu harus bertengkar. Dan ternyata benar, seandainya pagi itu tidak pesan Uber, itulah kali terakhir suami mengantarkannyi pulang.

Mereka berdua sudah berteman sejak dari SD. Terus berteman. Sampai akhirnya saling mencintai. Baru tiga bulan lalu mereka menikah. “Ketika sampai saatnya saya mengucapkan ”I do” saya masih heran bahwa kami ternyata saling mencintai,” ujarnyi.

Kisah Domonique itu harus sering terhenti oleh isaknyi. Juga oleh telapak tangannyi yang tetap sering ditepukkan ke podium –seperti untuk mengendalikan emosi, atau menahan tangis. Sesekali telapak tangannyi juga mengelus-elus kertas seperti menyingkirkan tetesan air mata di kertas itu.

Di penutup pidatonyi, Domonique mendapat tepuk tangan panjang. Diikuti dengan standing ovation. Yakni ketika dia mengucapkan kata-kata seolah itu kata-kata sang suami.

“Sekarang ini kita semua dalam keadaan tidak aman. Sistem. Keamanan kita telah gagal. Semoga jaksa distrik yang baru mendengarkan kata-kata saya ini,” ujarnyi seperti menyuarakan perasaan sang suami.

Bahwa semua pelayat bertepuk tangan panjang, itu karena mereka setuju dengan kalimat tersebut.

Jaksa distrik New York yang baru memang bikin langkah yang sangat kontroversial. Sampai banyak yang menuntut agar Gubernur New York memecatnya –padahal gubernur tidak punya wewenang itu.

Sang jaksa, menurut New York Post, hadir di acara itu. Berarti ikut mendengar sendiri kata-kata ”Jason”. Bahkan mungkin juga ikut berdiri sambil bertepuk tangan.

Dua hari sebelumnya, ketika diadakan acara penghormatan terhadap jenazah Jason, di kantor polisi, sang jaksa baru juga hadir. Dominique tahu bahwa sang jaksa duduk di barisan depan. Maka dia memutuskan pilih duduk di belakang.

Yang sangat menarik perhatian, Dominique tidak mau meninggalkan ruangan sebelum sang jaksa baru itu pergi dari ruang tersebut.

Jaksa baru itu terpilih di Pemilu bulan November lalu. Dari Partai Demokrat. Mengalahkan calon dari Partai Republik. Ia dilantik menjadi jaksa tanggal 1 Januari lalu, bersamaan dengan pelantikan wali kota baru New York, Eric Adams.

Nama jaksa baru itu: Alvin Bragg.

Umur: 48 tahun.

Pendidikan hukum: Harvard, lulus cum laude.

Alvin adalah sejarah baru: kali pertama orang kulit hitam menjadi jaksa distrik New York.

Empat hari setelah menjabat jaksa distrik, Alvin membuat surat edaran kepada seluruh jaksa di wilayahnya. Isinya: agar bersikap lunak pada penjahat kecil. Pencurian kecil yang tanpa kekerasan jangan dihukum. Naik kendaraan umum tanpa punya karcis tidak usah dituntut. Itu demi rasa keadilan bagi orang miskin.

Sekarang saya baru tahu:  mengapa di kalangan Tionghoa beredar berita –awalnya seperti hoax– di medsos Indonesia. Di situ disebutkan: perampok dengan nilai di bawah USD 950 (sekitar Rp 12 juta) tidak boleh dihukum.

Saya tidak pernah membaca berita resmi seperti itu. Rupanya itu tafsir liar dari kebijakan baru jaksa distrik New York yang ramai itu. Saya tetap belum mendapat kepastian apakah kebijakan baru itu sampai pada penetapan angkanya.

Pencuri kecil-kecil, harus diakui motif utamanya karena untuk makan. Logika Alvin, barangkali ini: kalau ada warga negara sampai tidak bisa makan siapa yang harus disalahkan.

Yang jelas New York sekarang heboh dengan isu yang dilontarkan janda Jason itu. Wali Kota New York yang baru ikut memperluas pendapat janda Jason. Kalau jaksa saja sudah punya kebijakan seperti itu, siapa yang bisa menjamin keamanan umum.

Jason pergi.

Dominique merasa sepi.

Tapi dari kesepian Dominique itu, New York gempar. (Dahlan Iskan)

 

 

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *